News Update :
Home » , » Soal Capres, Jangan Lihat Jawa-Non Jawa

Soal Capres, Jangan Lihat Jawa-Non Jawa

Written By Babarobi on Sabtu, 28 Januari 2012 | 20.22

"Bila nilai primordialisme ditarik menjadi satuan-satuan politik maka akan memecah-belah." Tak bisa dipungkiri, faktor primordialisme kerap mengiringi isu pemilihan presiden. Begitu pula polemik yang bergulir menghadapi pemilihan presiden 2014 saat ini. Isu Jawa-non Jawa mulai mengemuka. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Amanat Nasional, Viva Yoga Mauladi menilai, penggunaan nilai-nilai primordialitas bakal capres, yaitu menilai capres karena asal agama, suku bangsa, keturunan, dan golongannya, bila dimasukkan ke dalam wilayah politik, akan sangat berbahaya bagi keutuhan Negara Republik Indonesia.
Menurut Viva, nilai primordialisme itu yang membentuk khasanah kekayaan masyarakat majemuk Indonesia. Namun, "bila nilai primordialisme ditarik menjadi satuan-satuan politik maka akan memecah-belah kebersamaan dan kebersatuan ikatan sebagai nation state Indonesia," kata Viva dalam perbincangan dengan VIVAnews, Senin 31 Oktober 2011.
Menurut dia, pikiran rasisme yang melihat manusia dari asal etnis atau suku bangsa sangat tidak humanis, antidemokrasi dan melanggar UUD RI 1945. Sebab, Indonesia ini dibangun dari rasa senasib sependeritaan dari seluruh suku bangsa yang berkomitmen membentuk bangsa Indonesia. "Tidak ada suku bangsa yang lebih tinggi posisinya dari suku bangsa yang lain. Semuanya setara dan sederajat," ujarnya. Menurut Anggota Komisi IV DPR itu, proses berbangsa dan bernegara harus dibangun melalui landasan demokrasi yang sehat dan rasional, dengan menghindari pikiran sempit dan diskriminatif. "Pikiran rasisme itu merusak jiwa nasionalisme Indonesia. Indonesia itu dibangun dari semangat masyarakat religius dan heterogen dari Sabang sampai Merauke, yang bersatu dalam wadah bangsa Indonesia," ujarnya. Hal senada sebelumnya diungkap Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Sukardi Rinakit. Dia mengatakan, ini saatnya masyarakat Indonesia menghentikan mitos presiden harus berasal dari suku Jawa. Menurut dia, yang diperlukan adalah figur berjiwa ksatria, bukan asal suku. Menurut dia, yang diperlukan menjadi pemimpin adalah figur yang berjiwa ksatria, bukan asal suku. "Yang dipedulikan adalah figur yang berjiwa ksatria tapi sayang suka dianalogikan harus tegap, bicara clear, dan tidak suka bercanda karena dikira Srimulat. Makanya ini yang membuat JK (Jusuf Kalla) tidak laku di Pilpres, karena image SBY terkesan kesatria," ujarnya. Sumber - Vivanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar